Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Sebelum mencari tahu kenapa agama Hindu diklaim sebagai pemuja berhala khususnya oleh golongan agama Abrahamik (Islam, Kristen, dan Yahudi) ada baiknya saya uraikan sedikit sejarah
berdirinya Ka’bah, sehingga nantinya umat hindu bisa menilai dirinya sendiri apakah tuduhan itu bersesuaian ataukah jauh dari kenyataan. (Silahkan dibaca secara keseluruhan, dan tunda komentar anda jika belum dibaca
secara tuntas agar tidak menimbulkan kesalah mengertian)
Menurut dr Akif Manaf Jabir (1997)
dalam tradisi kuno, bangsa-bangsa arab, diyakini bahwa ketika Allah mengusir
Adam dan Hawa dari surga, Adam terjatuh di sebuah pegunungan di Srilangka dan
Hawa jatuh di gunung Arafat. Setelah mengembara selama seratus tahun, keduanya
akhirnya bertemu di mekkah. Ditempat itulah atas petujuk dan bimbingan Allah,
Adam mendirikan sebuah tempat pemujaan yang disebut Ka’bah. Pada pondasi
bangunan itu, diletakkan Hajar Al-Aswad (batu hitam) yang juga turut jatuh ke
bhumi saat Adam dan Hawa diusir dari surge. Menurut salah satu tradisi, batu
itu semula berwarna seperti susu, namun lama kelamaan berubah menjadi hitam
karena dosa-dosa peziarah yang menyentuh dan menciumnya. Batu hitam itu
sesungguhnya adalah seorang malaikat penjaga Adam dan Hawa. Karena kelalainnya,
Adam dan Hawa berhasil dibujuk oleh iblis untuk melakukan perbuatan yang
dilarang oleh Allah.dengan demikian Ka’bah dibangun oleh Adam lalu
sepeninggalnya kemudian dibangun oleh Seth yang merupakan salah satu dari anak
Adam sendiri. Dalam tulisan lain disebutkan bahwa Mekkah adalah sebuah tempat
yang tepat berada di bawah singgasana Allah di Sorga dan Ka’bah dibangun
sebagai replica sebuah tempat sembahyang di surge yang dijadikan sebagai tempat
para malaikat memanjatkan do’a dan memuja Allah. Menurut sejarah bangsa arab,
setelah terjadinya banjir besar, Sim yang merupakan keturunan nabi Nuh
mendirikan rumahnya di semenanjung arab dan selanjutnya menjadi nenek moyang
dari berbagai suku yang ada disana. Salah satu cicit Si mini bernama Yarab yang
merupakan pendiri kerajaan Yaman. Kata Arab berasal dari kata Yarab
tersebut.(Gudratov, 1990).
Diceritakan bahwa saat terjadinya
banjir besar, Ka’bah yang dibangun kembali oleh Seth tersebut turut hancur.
Ka’bah dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Untuk membangun
kembali Ka’bah, malaikat Jibril memberikan kepada Ibrahim sebuah batu pipih
yang dapat dijadikan sebagai tangga penyangga yang dapat dipindahkan selama
membuat Ka’bah. Batu tersebut dapat muncul dan menghilang dari kaki Ibrahim
sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini masih dapat dijumpai jejak kaki Ibrahim
pada batu tersebut, yang saat ini tersimpan dalam sebuah sangkar besi. Para
peziarah yang datang memanjatkan doa dihadapan batu itu (Menezez, 1911). Ketika
pembangunan Ka’bah hamper selesai, Nabi Ibrahim memutuskan untuk menempatkan
sebuah batu di salah satu sudut bangunan itu, sebagai pertanda dari titik mana
para peziarah harus memulai ritual mereka mengelilingi Ka’bah. Pada waktu
itulah malaikat Jibril dan menunjukkan kepada Nabi Ibrahim sebuah batu hitam
(Hajar Al-Aswad) yang dulu sempat hilang pada saat terjadinya banjir besar.
Menurut Labib MZ, batu hitam tersebut ditempatkan dipojok tenggara (South
eastern) Ka’bah. Selanjutnya Ka’bah dibangun kembali oleh keturunan Amalikah,
keturunan Nabi Nuh. Lalu dibangun lagi oleh Banu Jurhun yang juga merupakan
keturunan Nabi Nuh dengan Katan. Beberapa ratus tahun sebelum pewahyuan
Al-qur’an, Ka’bah dibangun kembali oleh Kusay bin qilab yang telah memimpin
suku bangsa qurays menuju mekkah. Menurut ahli sejarah Azraqi, pada masa itu
Ka’bah berukuran setinggi 4,5 meter tanpa atap dan terdapat empat batu mulia di
keempat sudutnya. Dewasa ini batu hitam dan Ka’bah mewujudkan sebuah tempat
pemujaan kepada Tuhan sejak jaman prasejarah dan Ka’bah menjadi orientasi arah
(Kiblat) umat islam seluruh dunia dalam bersembahyang. Ka’bah merupakan pusat
orientasi spiritual, merupakan pendukung bagi pemusatan kesadaran bagi Yang
Maha Ada. Jika orang melakukan sembahyang di dalam Ka’bah mereka boleh
menghadap kearah mana saja. Hajar Al-Aswad atau batu hitam itu saat ini berada
di pojok tenggara ditempatkan setinggi 1,5 meter dari tanah warnanya hitam
kemerah-merahan dan terdapat partikel kekuning-kuningan berbentuk oval dan
tingginya sekitar 15 inchi (38 cm) dan lebarnya lebih kurang 11 inchi (28 cm)
ditempatkan dalam sebuah kotak yang terbuat dari perak. Pada sudut yang
berseberangan, terdapat batu lain yang berwarna kemerah-merahan yang disebut
sebagai Hajar Al-As-sa’adah (The stone of felosity) ia merupakan titik pusat
Ka’bah yang menandai arah kiblat. Titik focus kegiatan sembahyang (Jabir,
1997). Dari uraian ini jelaslah bahwa Ka’bah dibangun oleh Adam dengan tujuan
untuk memuja Tuhan yang Esa. Ka’bah disebut pula sebagai rumah Allah. Dikenal
pula sebagai Al-bayt Al-haram (The Holy House) dan juga Al-bayt Al-atiq (The
Ancient house). Dengan demikian bangsa arab kuno percaya pada satu Tuhan dan
memuja Tuhan yang Esa itu namun mereka juga percaya bahwa beberapa manusia
tertentu memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah, dan memiliki kemampuan sebagai
perantara bagi orang lain untuk didengar oleh Allah. Untuk mencapai Allah
adalah sesuatu yang tidak mudah bagi manusia biasa karenanya, masyarakat harus
mempunyai perantara untuk menarik perhatian dan pertolongan dari Allah. Oleh
karena itu masyarakat Mekkah pada saat itu membuat patung-patung orang suci dan
saleh lalu memujanya. Mereka juga memberikan beberapa persembahan kepada
patung-patung itu dengan maksud untuk memuaskan Allah melalui perantaraan
mereka (Bashir Ud-din, 1954).
Suku-suku bangsa arab kuno meyakini
bahwa Allah telah mempercayakan berbagai urusan yang berhubungan dengan fungsi
dan tugas-tugas mengurus alam semesta ini kepada berbagai dewa dan dewi. Oleh
karenanya orang beralih pada kepada para dewa dan dewi ini guna meminta berkah.
Bangsa Arab di gurun Syria menganggap Al-Manat atau dewi fortuna sebagai
permaisuri Allah dan ibu dari semua dewa. Beberapa dewa seperti Al-lat atau
dewi langit dan Al-Uzza atau dewi venus dianggap sebagai putrid-putri Allah
(Jabbarov, 1990) orang-orang suku yaman memuja matahari. Suku-suku lainnya
menyembah bulan sedangkan yang lainnya memuja berbagai bintang. Namun sebagian
dari mereka memuja berhala. Hampir setiap suku memiliki berhalanya sendiri. Di
daerah dumat ul jandal disebelah utara hijaz terdapat temple waad. Berhala yang
dipuja disana berupa patung manusia terbuat dari batu ditutupi oleh dua mantel.
Ia membawa pedang dan busur pada bahunya. Sebuah tempat penuh anak panah
tergantung pada bahunya dan memegang sebuah tombak terhiasi bendera kecil di
ujungnya. (Khan, 1931). Di Hijaz dan Hajd bangsa arab memuja batu-batu yang
disebut betil (rumah Allah) mereka mengitari batu-batu itu lalu menyentuhnya
dengan tujuan agar kekuatan yang tersimpan dalam batu itu dapat berpindah ke
dalam diri mereka. Terdapat betil yang ditempatkan secara menetap, dan ada pula
betil yang dapat dibawa kemana-mana. Beberapa suku bangsa arab memuja api yang
lainnya memuja bentuk alat kelamin laki-laki dan perempuan sementara
orang-orang yang perkasa dan tenar membuat patung-patung diri mereka sendiri
dan memaksa orang lain untuk memuja patung itu.
Berangsur-angsur Ka’bah kehilangan
pengaruhnya dan Mekkah tidak lagi memiliki wibawa. Untuk mengatasi hal itu,
penguasa kota Mekkah memutuskan untuk menempatkan sebuah patung yang sangat
perkasa dan berpengaruh yang dinamai Hubal dan ditempatkan didalam Ka’bah
(Talibov,1991) yang dibawa dari daerah Moab, Palestina. Tujuh buah anak panah
ditempatkan di genggam tangannya. Ka’bah merupakan tempat peziarahan yang
terkenal.dan untuk membuatnya lebih menarik bagi suku-suku bangsa arab,
orang-orang Mekkah pada saat itu secara bertahap mulai mengumpulkan banyak
patung. Tidak berselang lama, terkumpullah 360 berhala yang ditempatkan di
dalam Ka’bah dan halamannya. Patung-patung Al-Manat, Al-Alat, dan Al-Uza
dihiasi dengan pakaian pakaian dan perhiasan indah. Patung-patung lain yang
juga terkenal adalah Wadd, Sava, Yagus,Yauk,dan Nasr. Para ahli sejarah muslim
mengklaim bahwa patung-patung tersebut memang dibenarkan untuk disembah,bahkan
sebelum masa banjir besar.Wadd adalah sebuah personifikasi langit dalam wujud
seorang pria, Sava berwujud seorang wanita, Yagus memiliki wujud seekor singa,
Yauk berwujud seekor kuda, dan Nasr berbentuk laying-layang. Ada patung lain
dalam bentuk burung merpati berukuran besar, terbuat dari kayu. Bangsa arab
kuno memuja para dewa tersebut dengan cara mempersembahkan dupa, makanan,hadiah-hadiah
mahal,dan lain sebagainya. Mereka memandikan patung para dewa itu dengan air
kumkuman bunga, madu, dan bahkan ada yang dari darah hewan yang telah
dikurbankan. Di depan Ka’bah terdapat sepasang patung pria dan wanita yang
bernama Isaf dan Naila. Menurut tradisi, suatu hari sepasang anak muda itu
ingin melakukan hubungan badan dan tidak dapat menemukan tempat lain yang aman.
Mereka masuk ke dalam Ka’bah dan mencemarinya dengan prilaku Asusila. Karena
perbuatan biadab itu, Allah menghukum sepasang pemuda pemudi itu dengan
mengutuknya menjadi sepasang patung batu. Orang-orang yang menjumpai tubuh
sepasang manusia yang membatu itu teronggok di halaman Ka’bah. Sebenarnya
peristiwa tersebut merupakan peringatan dari Allah bagi siapapun yang berani berbuat
tidak senonoh dalam Ka’bah. Namun moral masyarakat pada waktu itu begitu
merosotnya sehingga bahkan sepasang batu itupun mereka anggap sebagai arca yang
patut disembah dan dihormati bersama berhala-berhala lainnya.
Di dalam Ka’bah terdapat
lukisan-lukisan dinding termasuk lukisan sosok Nabi Ibrahim, dan lukisan Ibunda
Maria bersama bayi Yesus (Hamidullah, 1974). Bangsa arab kuno juga mempunyai
tradisi mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan telanjang bulat. Para
pria melakukannya pada pagi hari sedangkan para wanitanya melakukan pada malam
hari. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa bangsa arab kuno telah
memiliki keimanan pada Allah, Tuhan pencipta langit dan bhumi tetapi mereka
tidak menyembah-Nya melainkan mereka menyembah berbagai berhala, dengan
anggapan bahwa para berhala itulah yang telah ditunjuk untuk melakukan sesuatu
kepada mereka. Misalnya dalam hal memberikan hujan, kekayaan, atau menyampaikan
do’a mereka kepada Allah. Dari sejarah arab kuno tersebut dapat kita kaitkan
bahwa seiiring berlalunya zaman, prinsip-prinsip agama sejati telah
disimpangkan. Masyarakat memuja segala benda dan segala sesuatu yang lain
selain Tuhan. Sri Krishna menyabdakan dalam Bhagavad Gita (IV.7-8)..”Bila hal
hal yang bertentangan dengan Dharma / Kebenaran meraja lela, (Abhyutanam
adharmasya) maka Tuhan akan utusan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip
Dharma (Dharmasamstha panarthaya). Dalam situasi seperti di semenanjung arab
itulah , Nabi Muhamad SAW diturunkan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip
Dharma (Al-Qur’an) Beliau menerima wahyu melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan
diangkat sebagai Rasul Allah. Masyarakat pada waktu itu menyembah berhala hasil
penggambaran dan rekaan manusia. Oleh karena itu, Nabi Muhamad secara tegas
melarang penyembahan kepada berhala seperti itu. Tetapi beliau tidak melarang
pemujaan terhadap penggambaran wujud-wujud yang dibenarkan menurut kitab suci.
Pada saat Nabi Muhamad berhasil menguasai kota Mekkah, Beliau dan para
pengikutnya memasuki bangunan Ka’bah. Ada begitu banyak penggambaran manusia
pada tembok-tembok Ka’bah pada waktu itu. Nabi Muhamad memerintahkan agar
semuanya dihapus kecuali penggambaran perawan Maria dan bayi Yesus (Akif Manaf
Jabir,1997).
Seiiring berlalunya waktu, secara
tradisi islam melarang pemujaan dan penyembahan terhadap bentuk apapun tanpa
terkecuali.termasuk melarang pemujaan terhadap arca vigraha atau murti Tuhan
yang dibenarkan oleh kitab suci Veda sekalipun. Menurut ajaran islam,
penggambaran bentuk Allah diciptakan oleh setan dan disebut Byut (Berhala).
Pemujaan kepada berhala ini dilarang secara tegas dan pelakunya akan mendapat
hukuman yang pantas dari Allah. Tinjauan terhadap ajaran Al-qur’an dan Injil
menunjukkan bahwa pemujaan berhala adalah sesuatu yang benar-benar terhalang.
Semua larangan tersebut dinyatakan dengan tegas, jelas, dan disertai dengan
ancaman hukuman bagi yang melanggarnya.
Timbul sebuah pertanyaan, Jika Tuhan
itu hanya satu lalu kenapa terdapat perbedaan besar pemahaman tentang hal ini
dimana ada agama yang membolehkan pemujaan terhadap arca / wujud Tuhan tetapi
di agama lain justru melarangnya dengan keras?. Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, kita harus menganalisa kembali pemahaman sesuai kontek terhadap
ayat-ayat Al-qur’an dan Injil tersebut. Perlu kita ingat kembali bahwa menurut
Veda, tiap utusan Tuhan akan mengajarkan kepada umat manusia menurut
waktu,tempat,dan kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh umat tertentu pada
saat tertentu pula. Contoh yang paling mudah dipahami adalah sebagai berikut :
Seorang dosen matematika pastilah menguasai ilmu trigonometri,yang berbicara
tentang konsep sinus, cosinus, tangent, cotangent, dsb. Kalau dosen seperti itu
mengajar, tentu ia harus pandai-pandai mempertimbangkan kemampuan orang yang
akan diajari. Saat mengajar mahasiswa jurusan matematika, tentu tidak akan
masalah jika menerangkan dengan rumus-rumus trigonometri itu. Secara psikologis
dan keilmuan seorang mahasiswa telah siap menerima ilmu yang sifatnya abstrak
seperti itu. Namun jika ia mengajar anak sekolah dasar, dosen itu ngotot
memakai konsep trigonometri dalam proses mengajarnya, apa yang akan terjadi ?.
Bahwa kita harus berbicara kepada
orang lain dengan mempertimbangkan daya tangkap seseorang, dibenarkan oleh Nabi
Muhamad sendiri. Beliau mengatakan, berbicaralah kepada orang sesuai dengan
tingkat kecerdasan mereka. Karena jika kita berbicara segala sesuatunya pada
semua orang, beberapa diantara mereka tidak dapat memahami kita dengan begitu
akan terjadi kesalahan. (Al Suhrawardhy,1905). Karena bangsa arab kuno memuja
berhala dan dalam banyak hal begitu merosotnya, maka beliau tidak menyinggung
apapun yang berkenaan dengan pemujaan kepada bentuk Tuhan. Contoh lain,
keluarnya ayat Al-qur’an yang sesuai dengan kontek keadaan bangsa arab kuno
pada waktu itu adalah perintah Nabi Muhamad (Al-qur’an 4.23) “..Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibumu, anak-anak perempuanmu, dan juga saudara perempuanmu.”
Mengapa ada ayat yang berbunyi demikian ?
Dapat dipastikan bahwa semua
kebiasaan zinah dengan anggota keluarga sendiri itu telah terjadi pada bangsa
arab pada saat itu. Sama halnya kenapa di Indonesia sekarang ada Undang-undang
yang mengatur masalah terorisme ? maka generasi selanjutnya pastilah dapat
menyimpulkan bahwa pada saat itu telah ada gerakan atau tindakan terorisme yang
terjadi. sebelum ada peristiwa demikian, maka hukum yang mengatur hal itu tidak
akan muncul. Dapatkah anda membayangkan bagaimana mentalitas masyarakat yang
harus dihadapi oleh Nabi Muhamad ? kemerosotan moral itu sudah sedemikian
parahnya sehingga masyarakat pada saat itu menjadikan para berhala sebagai
Tuhan pujaan mereka. Nabi Muhamad melarang pemujaan terhadap berhala, namun
pada saat yang sama beliau juga tidak memberikan penjelasan atau gambaran
bagaimana wujud Tuhan yang sesungguhnya. Secara terbuka beliau tidak pernah
berbicara tentang bentuk Tuhan, namun dalam beberapa ayat Al-qur’an beliau
memberikan secara tersirat/ tersembunyi tentang wujud Tuhan. Mengapa ? tentu
saja ini dikarenakan bahwa bangsa arab itu telah akrab dengan pemujaan berhala
sesuai dengan bentuk semau mereka sendiri. Kalau pada saat itu Nabi kembali menjelaskan
tentang bentuk dan wujud Tuhan, pastilah mereka akan membuat berhala-berhala
baru. Padahal pelarangan terhadap pemujaan berhala itulah yang menjadi misi
utama kehadiran Nabi Muhamad. Tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa Nabi
Muhamad menolak pemujaan kepada arca Vigraha seperti yang dibenarkan menurut
aturan kitab suci. Hal ini dapat kita temukan apabila kita secara dekat
mengkaji kehidupan Nabi Muhamad.
Geo Wedengren (1995) menyebutkan :
Menurut tradisi muslim, suatu waktu, saat Nabi Muhamad mengalami Isra Mi’raj
(naik ke planet-planet surga) dan setelah memasuki lapis ketujuh dari planet
surge, beliau menghadap singgasana Allah. Pada saat Nabi Muhamad naik ke surge
dan berjumpa dengan Allah, Allah sedang duduk di singgasana-Nya. Setelah
peristiwa itu ketika kemudian orang-orang bertanya kepada Nabi Muhamad “ apakah
anda telah melihat Allah ?” sang Rasul menjawab “ Saya hanya melihat cahaya
yang begitu gemilau, dimana Allah berada di balik 20.000 tirai gorden. Jika
gorden itu tersingkap dan seseorang melihat wajah Allah, maka ia akan segera
terbakar menjadi debu. (Baku,1993). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya
Tuhan memiliki wujud rohani yang merupakan dasar bagi umat hindu dalam
melakukan pemujaan kepada Tuhan dalam bentuk Arca atau Murti beliau.
Selain dalam Al-qur’an, pelarangan
pemujaan terhadap berhala juga dapat kita temukan dalam kitab Injil khususnya
pada kitab Perjanjian Lama (Old Statement) yang merupakan kitab suci umat
Yahudi, Kristen, dan agama serumpun. Disana terdapat larangan tegas untuk
menciptakan arca atau berhala apalagi menyembah bentuk-bentuk itu. Dalam exodus
:20.3 terdapat perintah “Thou shall have no other gods before me” (Kamu tidak
boleh memiliki Tuhan lain dihadapan-Ku). Larangan itu dipertegas kembali dalam
ayat-ayat selanjutnya (Exodus; 20.4-5) “ Thou shall not make unto thee any
graven (carved) image of any likeliness of anything that is in the sky above,
or that is on the earth beneath, or that is in the water under earth…Thou shall
not bow down to them, nor serve them ; for I the Lord thy God am a jealous God”
yang artinya…Kamu tidak akan membuat atasmu patung berhala, atau keserupaan
dengan apapun, yang ada di surge di atas atau yang ada di atas bhumi, atau yang
ada di dalam air ; … Kamu tidak akan tunduk kepada mereka, tidak pula melayani
mereka, karena Aku tuan Tuhanmu adalah seorang Tuhan pencemburu ). Ayat ini
merupakan salah satu dari 10 perintah dalam Kristen (The Ten comandent) dengan
dasar ayat-ayat itu umat Judeo-Kristen mengembangkan sikap kebencian yang kuat
terhadap kegiatan pemujaan terhadap arca. Selanjutnya larangan itupun dimaknai
sebagai larangan untuk memuja wujud Tuhan yang dibenarkan menurut uraian
kitab-kitab suci sekalipun. Larangan-larangan itulah yang mengilhami
penghancuran tempat-tempat sembahyang umat hindu khususnya di india, pada masa
kekuasaan umat beragama lain tersebut.
Dalam bahasa sansekerta, nama lain dari arca adalah murti
atau pratima. Dalam buku Darshan : seeing the devine image in india, Prof Diana
Eck dari Havard University Amerika menuliskan :..” seperti halnya istilah icon
menunjukkan makna keserupaan, begitupun kata-kata Pratikrti dan Pratima dalam
bahasa sansekerta mengandung makna keserupaan antara gambar atau patung dengan
dewata yang dilambangkannya. Namun kata yang umum digunakan untuk meyebut
patung seperti itu adalah murti yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
memiliki bentuk dan batas tertentu, suatu bentuk, badan, atau figure, sebuah
perwujudan, terjemahan, pengejawantahan. Jadi murti sesungguhnya lebih daripada
keserupaan. Melainkan dewata itu sendiri yang telah mewujud. Pemakaian kata
murthi dalam berbagai Upanisad dan Bhagavad Gita menunjukkan bahwa bentuk atau
wujud tersebut adalah hakekat atau essensinya. Ibaratnya nyala api adalah murti
dari api. Sayangnya setelah diserap dalam bahasa Indonesia, kata arca atau
murti kemudian dimaknai identik dengan kata patung atau berhala, dan sering
berkonotasi negative. Sembahyang umat hindu kepada Tuhan dengan menggunakan
sarana arca di cap sebagai kegiatan pemujaan kepada berhala, dan penghinaan
kepada Tuhan. Padahal dalam kitab Veda, cara sembahyang kepada Tuhan melalui
perantaraan Arca Vigraha adalah sebuah anjuran bagi mereka yang ingin maju
dalam jalan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Beberapa ayat dalam Bhagavata
Purana yang mengajarkan pemujaan kepada Arca Vigraha sebagaimana yang
diajarkan oleh Tuhan Sri Krishna kepada Udhava adalah sebagai berikut :
Sri Udhava uvaca :
Kriya-yogam samacaksva //
bhavad-aradhanam prabho
Yasmat tvam ye yatharcanti //
Satvatah-satvatasarbha
( Udhava berkata : Wahai Sri
Krishna, tuan bagi para penyembah, mohon menjelaskan cara yang telah ditetapkan
dalam menyembah Anda dalam wujud arca. Bagaimana kwalifikasi para bhakta yang
memuja arca, atas dasar apa pemujaan itu dilakukan dan bagaimanakah cara
pemujaannya secara khusus (Bhagavatam 11.27.1)
Etad vadanti munayo // muhur
nihsreyasam nrnam
Narado bhagavan Vyasa //
acaryo ngirasah sutah
(Rsi Rsi yang mulia menyatakan bahwa
pemujaan arca seperti itu memberikan manfaat terbesar bagi kehidupan manusia.
Itulah pendapat Narada muni, Rsi agung Vyasadeva, dan pendapat guru saya
sendiri, Bahaspati (angirasah sutah) – Bhagavatam 11.27.2
Vaidikas tantriko misra // iti
me tri-vidho makhah
Trayanam ipsitenaiva // Vidhina
mam samarcaret
‘ Hendaknya seseorang memuja-Ku
dengan penuh kehati-hatian dengan memilih salah satu cara pemujaan yang telah
ditetapkan untuk memuja-Ku yakni : Vaidika, Tantra, atau gabungan diantara
keduanya.
Acaryam sthandile ‘gnau va
// surye-vapsu hrdi dvijah
Dravyena bhakti-yukto
‘rcet / Sva-gurum mam amayaya
(Seorang dvija atau ia yang sudah
dilahirkan dua kali harus menyembah-Ku, sepenuh hati tanpa sikap mendua.
Mempersembahkan berbagai perlengkapan dengan cinta bhakti kepada wujud-Ku sebagai
arca, atau kepada wujud-Ku yang ada dalam tanah, dalam api, dalam matahari,
dalam air atau dalam hati penyembah itu sendiri)
Mengenai bahan-bahan yang bisa
dipakai untuk membuat arca, Sri Krishna menyebutkan sebagai berikut
“ Dinyatakan bahwa arca Tuhan dapat
muncul dalam delapan jenis bahan yaitu dari batu, kayu, tanah, cat, pasir,
pikiran, dan permata (Bhagavatam 11.27.12)
Jelaslah dalam hal ini bahwa pada saat umat hindu membuat
arca Tuhan dari batu atau logam, tidak berari bahwa mereka sedang menghina
Tuhan karena mempersamakan batu dengan Tuhan. Toh batu atau kesemua bahan yang
disebutkan itu adalah ciptaan Tuhan dan Tuhan sendiri yang mengijinkan diri
beliau dipuja dalam bentuk yang dapat dilihat oleh mata manusia yang serba
terbatas ini.
Lalu bagaimana mengatasi
keterbatasan panca indera ini padahal kalau mau jujur, kita tidak pernah bisa
bersembahyang pada kekosongan. Saat berdoa, sembahyang, ataupun melakukan
pemujaan, pastilah pikiran kita membayangkan suatu figure, sosok, bentuk,
wujud, konsep, atau gambaran tertentu yang kita jadikan sebagai objek untuk
pemusatan pikiran. Entah itu berupa ‘cahaya menyilaukan / Nur, sosok orang tua
yang bijaksana, bentuk Omkara, gambar Yesus, Kaligrafi Allah, tanda Salib, dan
sebagainya. Selalu ada sesuatu yang berusaha kita wujudkan dalam pikiran baik
secara sadar maupun tidak. Kita butuh titik kosentrasi bagi pikiran yang selalu
gelisah dan ingin mengembara kesana kemari. Bukankah saat sembahyang, umat
islam juga diwajibkan untuk menghadap kea rah “Kiblat” yaitu berupa Ka’bah yang
berada di kota Mekkah Arab untuk dijadikan titik kosentrasi pikiran. Sekali
lagi indera manusia yang terbatas ini hanya bisa menangkap dan memahami hal-hal
yang bersifat material sedangkan Tuhan bersifat rohani spiritual yang berada di
luar batas kemampuan manusia oleh karena itulah Tuhan ‘mengalah’ dengan
menampakkan dirinya kepada manusia. Tentu saja orang-orang seperti ini adalah
orang-orang terpilih yang telah dipersiapkan bagi-Nya untuk mengungkap
kebenaran dimaksud. Manusia terpilih seperti itu hanyalah seperti sebutir pasir
dipantai. Begitu sulitnya ditemukan bahkan Arjuna yang memiliki kedekatan
dengan Sri Krishna-pun tak sanggup melihat Viratsvarupa beliau pada saat
penampakan Ilahi di medan perang kuruksetra walaupun Arjuna telah diberikan
penglihatan dewata ( caksu divyam)
Arjuna berkata “….Kalau beratus
ratus ribu matahari di langit terbit pada waktu yang bersamaan, mungkin
cahayanya menyerupai cahaya dari kepribadian yang paling utama dalam bentuk
semesta itu (B.Gita XI.12)
“Sri Krishna yang hamba muliakan, di
dalam badan Anda hamba melihat semua dewa dan berbagai jenis mahluk hidup yang
lain. Hamba melihat dewa Brahma sedang duduk di atas bunga teratai, dan
bersamanya dewa Shiva, para Rsi, dan juga naga-naga surgawi” ( B.Gita XI.15)
“Bentuk Anda sulit dilihat karena
cahayanya yang begitu menyilaukan tersebar ke segala sisi. Seperti api yang
menyala atau cahaya matahari yang tidak dapat diukur. Namun hamba melihat
bentuk ini yang bernyala dimana mana, dihiasi dengan berbagai jenis mahkota,
gada, dan cakra” (B.Gita XI.17)
Demikianlah,
setelah mendapatkan berkat khusus berupa penglihatan rohani, Arjuna mampu
melihat wujud rohani Tuhan dan wujud para dewa. Jadi kalau umat hindu
bersembahyang dengan membuat dan menggambarkan wujud serta bentuk Tuhan, hal
itu dilakukan dengan mengikuti uraian mengenai wujud dan penggambaran badan
rohani Tuhan sebagaimana yang diuraikan dalam kitab-kitab Veda. Ada kitab dalam
Veda yang khusus berisi panduan lengkap tentang bagaimana seharusnya orang
membentuk arca atau murti Tuhan, upacara-upacara yang harus dilakukan, dan
mantra mantra yang harus digunakan untuk “mengundang” Tuhan agar berkenan
“bersemayam” dalam murti atau arca yang dipuja. Akan tetapi manusia tidak boleh
membuat penggambaran Tuhan sesuka hatinya, lalu menjadikan hal itu sebagai
Tuhan pujaannya. Arca harus dibuat menurut aturan dan ketentuan yang ditetapkan
dalam kitab suci
(dari buku Hindu dibalik tuduhan dan
prasangka, Suryanto M.Pd, 2006)
Nah kalau selama ini diketemukan
masyarakat hindu yang memuja berbagai kayu atau batu besar, membuat patung
binatang seperti macan, kambing, ular, dan lain sebagainya lalu mereka puja
sebagaimana mereka ingin memuja Tuhan, maka tentu tidak salah jika akhirnya
umat lain mengklaim mereka sebagai masyarakat primitive pemuja berhala. Karena
memang apa yang mereka puja dalam bentuk itu bukan merupakan penggambaran yang
benar tentang sifat Ketuhanan. Tidakkah hal itu hamper sama dengan gambaran
bangsa arab kuno sebelum diturunkannya Nabi untuk menegakkan kembali
prinsip-prinsip kebenaran yang sejati. Dan bukannya yang sekedar pembenaran
rasa yang dipegang sebagai kebenaran oleh suku bangsa jahiliyah di ketika itu.
Bait mantra …Narayana Na dwityo ‘sti kascit “ yang tercantum
dalam Narayana Upanisad yang kemudian diselipkan dalam mantram puja Trisandya
umat hindu di Nusantara pada bait kedua, seharusnya diterjemahkan dengan benar sebagaimana
umat Islam menyebutkan “ La Ilahailallah” Tiada Tuhan selain Allah. Atau dalam
mantram diatas berarti Narayana itu hanya satu. Sama sekali tidak ada duanya.
Jadi Narayana yang merupakan expansi dari Tuhan Sri Krishna seharusnya menjadi
penggambaran umat hindu dalam membuat arca / patung yang bersesuaian dengan isi
kitab suci agar tidak terus terjadi kebingungan karena ketidak berdayaan umat
dalam memahami mana Tuhan, Dewa, Leluhur, Roh suci, Memedi, atau bangsa jin dan
lain sebagainya. Sehingga pemujaan, dan penggambaran Tuhan tidak rancu dengan
berbagai berhala yang dibuat sebagai hasil dari konsep pemikiran manusia yang
tak bersesuaian dengan isi dan petunjuk sastra.
Para Dewa dan Tuhan adalah 2 hal
yang berbeda. yang satu adalah pusat cahaya sedangkan lainnya adalah cahaya
yang keluar dari sumbernya (Tuhan) walaupun keduanya tidak bisa dipisahkan,
namun tidak berarti bahwa pemujaan terhadap keduanya bisa disamakan. demikian
halnya dengan penghormatan kepada para leluhur, para bhuta kala, atau roh-roh
halus memiliki caranya tersendiri. Tuhan hanya menganjurkan pemujaan Kepada-Nya
tanpa mengesampingkan penghormatan kepada mahluk yang lain sebagai partner
dalam mengolah hidup. ibaratnya dalam permainan sepakbola harus ada lawan untuk
menentukan keberhasilan seseorang dalam kemajuan prestasinya. para bhuta kala
juga adalah tim lawan yang memacu kita untuk lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan (Kalau kita tidak mau kalah dalam permainan hidup lalu menjadi pecundang
mereka atau bahkan dipakai budak oleh para bhuta kala itu) jadi mereka juga
perlu dihormati tapi bukan disembah atau dipuja seperti kita menyerahkan diri
kepada Sang Pencipta.
Sri Krishna dalam Bhagavad Gita Bab. 9.25 bersabda
:
yanti devan vrata-devan // pitrn
yanti pitr vratah
bhutani yanti bhutejya //
yanti mam yajino 'pi mam
Orang yang menyembah dewa-dewa
(kalau karmanya baik) maka ia akan dilahirkan diantara para dewa, orang
yang menyembah leluhur setelah mati akan dibawa ke alam leluhur, orang yang
menyembah hantu dan roh-roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah mahluk
seperti itu. tetapi orang yang menyembah-Ku (Krishna) maka ia akan sampai kepadaku
dan hidup bersama-ku di tempat tinggalKu yang kekal.
jadi kalau kita percaya dengan kitab
suci Veda khususnya Pancama Veda atau Veda yang kelima yakni Bhagavad
Gita, seharusnya kita lebih pintar lagi dalam melakoni kegiatan keagamaan
sebab tujuan yang diproklamirkan agama hindu adalah untuk mencapai Jagadhita di
bhumi (Tercapainya pencapaian Artha dan Kama yang dilandasi Dharma) sehingga
nantinya bisa meniti tujuan puncak yakni kelepasan atau mukti (Moksartham). dan
Moksa atau alam keabadian yang tak terjamah proses tumibal lahir mati hanyalah
ada dalam kerajaan Tuhan (Krishna Loka) bukan di alam para dewa (Sorga) apalagi
alam para leluhur (Pitra Loka).
3 komentar:
hare krishna, memang seharusnya 'yang pemahamannya lebih' memaklumi 'yang pemahamannya kurang'. Setuju sekali tulisan ini, evolusi spiritual masing masing orang berbeda beda. Tapi kalau mereka benar benar mencari maka mereka akan menemukan jawaban dalam bhagavad gita.
Trima kasih atas panduannya yang membantu , aku mengerti mengapa & kenapa sekarang .
Hare Krishna
Posting Komentar