SRI KRISHNA meninggalkan dunia material ini di usia 125 tahun, 7
Bulan, 6 hari, pada jam 14:27:30 tanggal 18 Februari 3102 SM, di tepi sungai
Hiran, Prabahs Patan (Gujarat). Perhitungan ini dinyatakan berdasarkan petunjuk
dari kitab-kitab kuno dengan perincian: Visnu Purana dan Bhagavad Gita
menyatakan Ia "meninggalkan" Dwaraka 36 tahun setelah perangMahabharata.
Matsya Purana menyatakan ketika perang Mahabharata, Ia berusia 89 tahun
Vishnu Purana 4.24 dan 5.38 juga Srimad Bhagavata/Bhagavata Purana 1.18.6 menyatakan bahwa era Kaliyuga mulai bertepatan dengan wafatnya Krisna.
Usia Krisna saat perang kurusetra adalah 89 tahun [Yudistira yang saat Perang di kurustra berusia 91 tahun dan Krishna lebih muda 2 tahun dari Yudistira]
Stri Parva 11.25: Gandhari, di saat prosesi upacara penyelesaian kematian bangsa kuru setelah perang di kurusetra, menyampaikan kutukan pada Krisna bahwa 36 tahun kemudian bangsa Yadawa akan musnah, tahun ini juga yang akan menjadi akhir kehidupan Krisna.
Srimad Bhagavata 11.6.25: Brahma mengatakan telah 125 musim gugur berlalu sejak krisna lahir yang diucapkan di menjelang hancurnya bangsa Yadawa.
Vishnu Purana 4.24 dan 5.38 juga Srimad Bhagavata/Bhagavata Purana 1.18.6 menyatakan bahwa era Kaliyuga mulai bertepatan dengan wafatnya Krisna.
Usia Krisna saat perang kurusetra adalah 89 tahun [Yudistira yang saat Perang di kurustra berusia 91 tahun dan Krishna lebih muda 2 tahun dari Yudistira]
Stri Parva 11.25: Gandhari, di saat prosesi upacara penyelesaian kematian bangsa kuru setelah perang di kurusetra, menyampaikan kutukan pada Krisna bahwa 36 tahun kemudian bangsa Yadawa akan musnah, tahun ini juga yang akan menjadi akhir kehidupan Krisna.
Srimad Bhagavata 11.6.25: Brahma mengatakan telah 125 musim gugur berlalu sejak krisna lahir yang diucapkan di menjelang hancurnya bangsa Yadawa.
Bagaimana wafatnya Krisna dan apa pesan
terakhirnya?
Striparva
Ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat, semua anak menantu Gandari telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.
Ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat, semua anak menantu Gandari telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.
Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah,
‘Seperti halnya anggota keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku
sendiri demikianlah hendaknya anggota keluarga paduka mengalami kehancuran
dihadapan mata paduka sendiri’
Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga
demikian’. ”Sebelum kau mengatakannya, aku sudah tahu apa yang akan terjadi
padaku dan bangsaku, tiga puluh enam tahun sejak sekarang.
Aku tahu dengan cara apa aku akan pergi meninggalkan dunia ini.”
Sri Krishna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya.
Aku tahu dengan cara apa aku akan pergi meninggalkan dunia ini.”
Sri Krishna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya.
Kutukan Gandhari menurut terjemahan
dari Kisari Mohan Ganguli, tr (Striparva, Bab ke-25):
..."Gandhari berkata, O Krishna, baik ‘Pandawa dan Dhartarashtra, keduanya telah terbakar. keduanya terbasmi, O Janardana, mengapa engkau abaikan mereka? Engkau sangat kompenten mencegah pembantaian ini, Engkau punya sejumlah besar pengikut dan berkekuatan besar. Engkau sangat fasih berbicara, dan engkau punya kekuatan (untuk mewujudkan perdamaian). Karena dengan sengaja, O pembunuh dari Madhu, engkau acuh tak acuh terhadap pembantaian massal ini, oleh karenanya, O Senjata yang paling perkasa, engkau seharusnya menuai buah tindakan ini. Dengan kebaikan kecil yang telah aku dapatkan dari kepatuhanku melaksanakan kewajiban pada suamiku, dengan pahala itu yang begitu sulit diperoleh, aku akan mengutuk engkau, O pemilik cakram dan gada! Karena engkau telah mengabaikan para Kuru dan Pandawa sehingga saling membunuh satu sama lainnya, oleh karenanya, O Govinda, engkau akan menjadi pembunuh sanak-Mu sendiri! Pada tahun ke 36 sejak sekarang, O pembunuh dari Madhu, engkau, setelah menyebabkan pembantaian kerabatMu, teman-temanMu dan anak-anakMu, binasa dengan cara menjijikkan di padang gurun. Para wanita dari ras-Mu, kehilangan anak, sanak saudara, dan teman-teman, akan meratap dan menangis seperti para wanita dari ras Bharata ini!'"
..."Gandhari berkata, O Krishna, baik ‘Pandawa dan Dhartarashtra, keduanya telah terbakar. keduanya terbasmi, O Janardana, mengapa engkau abaikan mereka? Engkau sangat kompenten mencegah pembantaian ini, Engkau punya sejumlah besar pengikut dan berkekuatan besar. Engkau sangat fasih berbicara, dan engkau punya kekuatan (untuk mewujudkan perdamaian). Karena dengan sengaja, O pembunuh dari Madhu, engkau acuh tak acuh terhadap pembantaian massal ini, oleh karenanya, O Senjata yang paling perkasa, engkau seharusnya menuai buah tindakan ini. Dengan kebaikan kecil yang telah aku dapatkan dari kepatuhanku melaksanakan kewajiban pada suamiku, dengan pahala itu yang begitu sulit diperoleh, aku akan mengutuk engkau, O pemilik cakram dan gada! Karena engkau telah mengabaikan para Kuru dan Pandawa sehingga saling membunuh satu sama lainnya, oleh karenanya, O Govinda, engkau akan menjadi pembunuh sanak-Mu sendiri! Pada tahun ke 36 sejak sekarang, O pembunuh dari Madhu, engkau, setelah menyebabkan pembantaian kerabatMu, teman-temanMu dan anak-anakMu, binasa dengan cara menjijikkan di padang gurun. Para wanita dari ras-Mu, kehilangan anak, sanak saudara, dan teman-teman, akan meratap dan menangis seperti para wanita dari ras Bharata ini!'"
Vaishampayana melanjutkan,
"Mendengar kata-kata ini, Vasudeva Sang Jiwa utama, kepada Gandhari,
mengatakan kepadanya kata-kata ini, dengan senyum tipis,"Tidak ada di
dunia, yang menyelamatkan diri, yang mampu membasmi bangsa Vrishni. Aku tau ini
dengan pasti. Aku akan wujudkan. Dalam mengucapkan kutukan ini, O ini kaulmu
yang sangat baik, Engkau telah membantu aku menyelesaikannya. Bangsa Vrishni
tidak mampu dibunuh oleh yang lainnya, baik itu para manusia atau dewa atau
Danava. Bangsa Yadawa, karenanya akan musnah oleh tangan mereka sendiri."
Setelah Ia dari ras Dasharha mengatakan ini, Pandawa menjadi terheran-heran.
Dipenuhi dengan kecemasan, mereka semua menjadi hidup tersia-sia!
Mosalaparwa
Mosalaparwa atau Mausalaparwa mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sri Krishna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Krishna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Mosalaparwa atau Mausalaparwa mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sri Krishna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Krishna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira
naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau
telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu
bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh
Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat
bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong,
takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta
beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan
sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna
dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan
kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka
berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan
kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi.
Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau
perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan
berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan
melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan
memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan.
Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja
Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa
bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong
besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya
dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak.
Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari
serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat
tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan
oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada
seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil
dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi
anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh
Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah
pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan
perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di
pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa
menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam
keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini?
Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk
Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau
lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang
artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata,
"Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang
meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan,
mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala
Kertawarma di hadapan Krishna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu
menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki.
Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan
Krishna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan
apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat
tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam
pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan
Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan
anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan
tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Krishna memperhatikan dan
menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan
kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata
yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia
melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang
berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka
dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Krishna. Hanya para
wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra.
Krishna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya
hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak
ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri
mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi
besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan
kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri.
Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Krishna mengirim utusan ke kota
para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan
Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan
Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka,
dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Sri Krishna kemudian pergi ke hutan
tempat dimana Balarama menunggunya. Krishna menemukan kakaknya duduk di bawah
pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat
seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu
bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa
datang berkumpul untuk bertemu dengannya.
Dalam Bhagawatapurana dikisahkan
setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran
Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan
dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut
oleh ular tersebut, yaitu Sesa.
Setelah menyaksikan kepergian kakaknya,
Sri Krishna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta,
mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian
ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian
dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.
Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu)
bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna
kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya
dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala
yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah
itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari
ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Sri Krishna yang berjubah
kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat
menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma'af atas kesalahannya itu.
Sri Krishna tersenyum dan berkata, ‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak
dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan
kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu
tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara
hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’. Ini
adalah hukum sebab akibat bahwa Sri Rama pada zaman Dwapara Yuga menitis
sebagai Sri Krishna. Sedangkan Sita disebutkan karena tidak suka dibakar oleh
Sri Rama yang meragukan kesuciannya kala disandera Rahwana, menitis sebagai
Subadra, saudari Sri Krishna dan menjadi istri Arjuna. Karena Subali sudah
memaafkan tindakan Sri Rama, maka dia tidak perlu lahir kembali untuk membalas
memanah Sri Krishna, Seorang pemburu bernama Jara yang memanah Sri Krishna
hingga Sri Krishna menemui pralaya…..
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krishna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krishna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati
bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak,
janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan,
Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana,
Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk
menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.
Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa
yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna,
Basudewa mangkat.
Sesuai dengan amanat yang diberikan
kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke
Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Krishna, kota Dwaraka akan
disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.