Tata cara pelaksanaan
Persembahan
Hoṁa
Yajña/Agnihotra sebaiknya dipimpin oleh seorang Dvijati atau pandita (pūjāri),
bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan oleh seorang pamangku atau pinandita
yang hidupnya senantiasa Vegetarian. Namun jika tidak ada sama sekali, upacara
inipun bisa dilakukan sendiri dengan keyakinan sebab Agni Hotra merupakan
kewajiban bagi semua Grhasta. Para peserta mengiringi pemimpin ūpacāra dengan
mengucapkan Svāha (untuk Deva Yajña dan Yajña yang lain) dan Svādha
khusus untuk ūpacāra Hoṁa
Yajña yang dilakukan dalam rangka Pitra Yajña, pada akhir setiap mantra
dengan sekaligus mempersembahkan persembahan yang telah disediakan dengan bahan
persembahan yang diletakkan di atas telapak tangan dalam posisi tengadah yang
disorongkan kedalam Kunda atau Vedi, tempat api persembahan berkobar. Hoṁa Yajña yang dilakukan dalam
rangka ūpacāra kematian, biasanya dilakukan setelah 12 hari selesai pembakaran
jenasah (Antyesti atau Ngaben), sebelum hari tersebut dipandang masih dalam
keadaan Cuntaka. Peserta yang mengikuti ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra dilarang
bercakap-cakap dengan sesama peserta, merokok, minum minuman keras dan
melakukan penyucian diri (mandi besar) jika sebelumnya melakukan hubungan
suami-istri.
Pemimpin
Upacara atau para Pinandita / Hotri duduk melingkar mengelilingi kunda, dan
sang Yajamana yang akan menuangkan persembahan kedalam api duduk di depan
Kunda,sedangkan peserta lainnya mengambil posisi dibelakangnya. Sang Yajamana
atau yang mempersembahkan ūpacāra dan seluruh peserta ūpacāra tidak
diperkenankan meninggalkan ūpacāra sebelum ūpacāra selesai dilaksanakan. Posisi
duduk peserta ūpacāra adalah: peserta wanita di sebelah kiri dan laki-laki di
sebelah kanan kunda atau vedi. Dilarang keras mempersembahkan lilin, dupa atau
bahan-bahan persembahan lain yang telah jatuh ke tanah, karena telah cemar.
Pelaksanaan Hoṁa
Yajña/Agnihotra dimulai dengan menyiapkan air suci (sedapat mungkin
Tirtha Gangga), dan sangat baik bila seorang atau beberapa Dvijati (pandita)
terlebih dahulu “ngarga” atau memohon Tīrtha dengan menghadirkan dewi Gangga
(dengan sarana Ganggastava) di dalam Kumbha (di atas Tripada) sebagai sarana
dalam acara Hoṁa
Yajña/Agnihotra. Selanjutnya dilakukan penyucian diri (acamana) dan Praṇāyama. Setelah penyucian diri dan
praṇāyama
dilanjutkan dengan pemujaan kepada Agni (menggunakan mantra Agni Sūkta/Ṛgveda I.1-9), Gāyatri mantram 108
atau 21 kali, Mahamṛtyuñjaya
21 kali. Sangat baik bila sebelum mempersembahkan Hoṁa Yajña didahului dengan
mempersembahkan pejati dan pesaksi kepada Devata yang bersthana di sebuah pura
bila ūpacāra itu dilaksanakan di dalam pura. Bila dikaitkan dengan ūpacāra
besar, sangat baik dilengkapi dengan Pañcadhatu (emas, perak, tembaga, kuningan
dan besi). Adapun bentuk kunda atau vedi umunya berbentuk piramid terbalik,
dapat dibuat dari tembaga atau besi, disamping juga dari batu bata atau sebuah
paso (belanga yang agak datar di Bali juga disebut dengan nama cobek dan
semuanya harus baru (payuk anyar). Bila ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra dilaksanakan
pada pagi hari sangat baik bila menghadap ke Timur, sore hari menghadap ke
Barat. Bila didepan altar atau pelinggih, sebaiknya menghadap altar atau
pelinggih tersebut. Demikian pula bila dilaksanakan di tepi pantai hendaknya
menghadap ke laut, di pegunungan diarahkan ke puncak gunung dan di tepi sungai
atau mata air, di arahkan ke sungai atau mata air.
F. Mantra yang digunakan Mantram-mantra
yang digunakan pada umumnya diambil dari mantram-mantram kitab suci Veda, dan
banyaknya Sūkta yang dirapalkan tergantung kepada tujuan ūpacāra Hoṁa Yajña tersebut, demikian
pula pilihan Sūkta umumnya disesuaikan dengan situasi pada saat ūpacāra
dilaksanakan, misalnya untuk ūpacāra Deva Yajña dan lain-lain. Berikut kami
sampaikan susunan mantram yang digunakan serta terjemahannya ke dalam bahasa
Indonesia: